UU ‘Lucu’ Tabrak UU Tipikor

Ilustrasi. (Foto: Ist)

Jakarta, pelitabaru.com

Lahirnya Undang-undang nomor 1 tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) tak hanya menuai kontroversi tapi juga membuat jidat para pegiat hukum di Indonesia, berkerut.

Alhasil, ungkapan satire pun terlontar dengan menyebut, jika produk hukum ini merupakan regulasi yang lucu karena kontraproduktif dengan aturan serupa soal penegakan hukum korupsi, yang kini tengah digembar-gemborkan Presiden Prabowo Subianto.

Diketahui, dalam UU BUMN beleid Pasal 9G disebutkan dewan pengawas, dewan komisaris, dan direksi BUMN bukan penyelenggara negara. Dan, Pasal 4 ayat (5) yang menyebut kerugian BUMN bukan kerugian negara; karena modal negara kepada perusahaan pelat merah sudah bukan lagi aset negara, tapi menjadi kekayaan perusahaan tersebut.

“Artinya, dengan beleid ini, pejabat BUMN tidak bisa dipidana korupsi. Jadi, lucu memang, ada aturan yang tumpang tindih dan saling bertolak belakang dengan UU Tipikor yang menyebut, siapa saja bisa terjerat korupsi jika menyalahgunakan kewenangan dan uang negara. Jadi, kemana arahnya aturan ini (UU BUMN-red)?,” ujar Inisiator Civil Alliance for A Stable and Established Democracy (CASED), Ramdan Nugraha saat dikonfirmasi Pelita Baru, Kamis (8/5/2025).

Pria yang akrab disapa Nunu ini pun dengan satire menilai, jika lahirnya UU BUMN ini dipastikan akan membuat pejabat pelat merah di Indonesia semakin kaya raya tanpa batas, karena dengan aturan yang ada, mereka tidak akan tersentuh hukum pidana korupsi.

“Siapa itu penyelenggara negara? Rontok kembali, bukan bagian penyelenggara negara. Tapi enggak inheren dengan undang-undang (anti-KKN) siapa itu penyelenggara negara?,” tanyanya seraya heran dengan UU BUMN.

Nunu pun menjabarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat, sepanjang 2016 hingga 2021 atau enam tahun saja, terdapat 119 kasus korupsi di lingkungan BUMN yang disidik penegak hukum dengan 340 orang tersangka.

ICW juga menemukan, 83 pelaku korupsi memiliki latar belakang pimpinan menengah di perusahaan BUMN, 76 pegawai atau karyawan atau karyawan BUMN, 51 direktur BUMN, dan 40 pelaku lainnya memiliki latar belakang lain.

“UU 1 tahun 2025 ini saya curiga ada kaitan dengan pengelolaan keuntungan seluruh perusahaan BUMN yang telah digadang-gadang akan dikelola secara terpusat dalam program Danantara yang telah diluncurkan oleh Presiden Prabowo beberapa bulan lalu. Ini bisa menjadi skenario yang berkait kelindan. Namun perlu ditelusuri lebih jauh potensi keterkaitan Danantara dan UU BUMN baru ini,” sebutnya.

Apalagi, dampak dari korupsi di perusahaan BUMN bukan main-main. Pertumbuhan ekonomi, pendapatan negara dan masyarakat bisa terganggu. Artinya, perilaku culas itu membawa akibat kerugian bagi negara secara langsung, melainkan banyak pihak.

“Jadi, berubahnya status penyelenggara negara pada BUMN, ini punya konsekuensi beberapa hal yang pertama bisa menimbulkan ketidakpastian yaitu ini kan bertabrakan di dalam norma dalam UU Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dari KKN, di dalam UU Nomor 28 99 salah satu penyelenggara negara adalah komisaris ada direksi dari BUMN,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar menegaskan, meski pihaknya masih akan mengkaji sejumlah pasal kontroversial pada UU BUMN ini, namun korps Adhiyaksa memastikan penindakan terhadap korupsi tetap berjalan dengan mengacu pada UU Tipikor.

“Kami sedang melakukan kajian terhadap UU baru yang dimaksud dan kita tunggu nanti seperti apa. Kejaksaan pada saat ini masih berpegang pada UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor); bukan UU BUMN. Sehingga, jika unsur-unsur korupsi yang tertuang dalam UU Tipikor terpenuhi maka perkara tersebut dapat dinilai sebagai kasus korupsi,” kata Harli di kantornya, Kamis (8/5/2025).

Harli sendiri tak menampik, jika rumusan pasal tersebut menimbulkan polemik karena frasa penyelenggara negara menjadi pintu sejumlah APH, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut tindak pidana korupsi di BUMN.

Beleid baru berpotensi melindungi para pejabat BUMN dari potensi dijerat pada kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara.

“Misalnya ada fraud, misalnya di situ ada hal-hal yang bersifat pemufakatan jahat, tipu muslihat, dan sebagainya. Sementara di sini kita tahu ada aliran uang negara, itu tentu adalah tugas APH untuk melakukan penelitian apakah disitu ada peristiwa pidana atau tidak,” ujar Harli.

Senada dengan Kejaksaan, KPK bahkan terang-terangan menolak rumusan Undang-undang nomor 1 tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara atau UU BUMN. Terutama Pasal 9G yang menyebut dewan pengawas, dewan komisaris, dan direksi BUMN bukan penyelenggara negara.

Ketua KPK Setyo Budiyanto menilai, sejumlah pasal baru dalam UU BUMN memang berpotensi membatasi kewenangan KPK dalam penyelidikan hingga pengusutan korupsi di tubuh perusahaan pelat merah. Lembaga antirasuah tersebut pun menilai rumusan UU BUMN justru bertolak belakang dengan sejumlah aturan lainnya.

“Ketentuan tersebut kontradiktif dengan ruang lingkup Penyelenggara Negara yang  diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta Penjelasannya dalam UU  Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari  Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN),” kata Setyo dikutip dari Bloomberg Technoz.

Baca Juga :  KPK Pastikan Jerat Lukas Enembe dengan UU Tipikor

Menurut dia, UU 28 tahun 1999 merupakan hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan Penyelenggara Negara, yang memang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN. Sehingga, kata dia, KPK akan lebih berpegang pada UU tersebut ketimbang rumusan baru UU BUMN yang tiba-tiba menyebut pejabat perusahaan negara bukan penyelenggara negara.

Dia berkukuh seluruh pejabat BUMN tetap terikat dengan sejumlah ketentuan antikorupsi bagi penyelenggara negara. Termasuk, kata dia, kewajiban menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan penerimaan gratifikasi.

Beleid baru BUMN memang mengancam kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi. Rumusan tersebut seolah memberikan perlindungan kepada pejabat BUMN dari potensi jeratan hukum KPK — lembaga antikorupsi yang berwenang mengusut kasus yang melibatkan penyelenggara negara.

Selain itu, KPK juga menolak rumusan Pasal 4B UU BUMN yang menyebut kerugian pada BUMN bukan kerugiaan keuangan negara. Hal ini juga mengacu pada Pasal 4 ayat (5) yang menyebut modal negara pada BUMN telah berubah menjadi kekayaan BUMN; bukan lagi aset negara.

Setyo pun merujuk pada empat putusan Mahkamah Konstitusi yaitu nomor 48/PUU-XI/2013; 62/PUU-XI/2013; 59/PUU-XVI/2018; dan 26/PUU-XIX/ 2021. Semua putusan ini menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan.

Dalam putusan tersebut, MK secara jelas menyatakan keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara. Sehingga segala pengaturan di bawah UUD tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK.

“Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan Negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana kepada direksi atau komisaris atau Pengawas BUMN,” kata Setyo.

“Hal ini dapat dilakukan sepanjang kerugian keuangan negara yang terjadi di BUMN terjadi akibat adanya perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR).”

Sementara itu, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas mengklaim aparat penegak hukum yang menangani kasus korupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Kejaksaan Agung (Kejagung) tetap bisa menjerat direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Hal tersebut diungkapkan Supratman merespons isu lembaga antirasuah akan kesulitan menjerat pejabat atau direksi BUMN yang terlibat dalam praktek korupsi di tubuh perusahaan pelat merah. Usai disahkannya Undang-Undang nomor 1 tahun 2025 tentang BUMN yang menetapkan dewan pengawas, dewan komisaris, direksi hingga pegawai perusahaan milik negara tersebut bukan penyelenggara negara.

Menurut Supratman, para aparat penegak hukum tetap dapat menindak direksi BUMN yang terjerat kasus korupsi yang di tubuh perusahaan pelat merah. Kendati begitu, hal tersebut menurutnya kini harus dilakukan berdasarkan bukti yang jelas.

“Sekarang kan Undang-Undang BUMN sudah disahkan, yang kedua setiap pelanggaran hukum terkait tindak pidana apalagi korupsi semua aparat penegak hukum tetap boleh,” ucap Supratman kepada awak media, di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (5/5/2025).

“Tetapi memang yang dilakukan sepanjang dilakukan proven, proven terhadap sebuah kebijakan yang diambil, jadi APH [Aparat Penegak Hukum] sama sekali tidak dibatasi untuk melakukan itu,” klaim dia.

Dirinya menegaskan bahwa aparat penegak hukum dapat menindak seluruh jajaran petinggi, dewan pengawas, hingga direksi BUMN, terlebih jika ditemukan itikad buruk dalam kasus yang dimaksud.

“Ya semuanya lah, kalau yang namanya korupsi ya siapapun yang terlibat ya pasti dilakukan. Apalagi kalau dilakukan atas itikad buruk,” ungkapnya.

Dalam beleid baru itu KPK disebut akan kehilangan kewenangan untuk mengusut kasus korupsi yang melibatkan para pejabat perusahaan pelat merah tersebut. Sesuai UU Tipikor, lembaga antirasuah tersebut bisa menetapkan sebuah kerugian negara adalah tindak pidana korupsi kalau melibatkan penyelenggara negara.

Terkait itu, Supratman menyatakan bahwa dalam bisnis terdapat untung-rugi yang dapat terjadi. Namun, dirinya mengklaim penilaian atas hal tersebut akan dipengaruhi dengan proses pengambilan keputusan yang berlangsung.

Ia tak menegaskan apakah kini aparat penegak hukum tidak dapat menjerat direksi BUMN yang terlibat dalam terjadinya kerugiaan negara akibat kebijakan perusahaan, namun dirinya menyatakan proses pengambilan keputusan atas hal tersebut akan menjadi pertimbangan sendiri oleh aparat.

“Sepanjang itu dilakukan sesuai dengan perencanaan yang baik. Kemudian ternyata menimbulkan kerugian usaha. Itu akan menjadi pertimbangan dari aparat penegak hukum,” ucap dia.

Sebagai informasi Pasal 9G UU BUMN menyatakan bahwa “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”
Sementara itu Bunyi Pasal 87 ayat (5) UU BUMN menegaskan bahwa “Karyawan BUMN sebagaimana dimaksud ayat (2) bukan penyelenggara negara.” (fuz/*)

Tags: