Jakarta, Pelitabaru.com
Nama Donald Trump kembali menjadi sorotan. Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) itu bisa mempengaruhi nasib ekonomi negaranya. Hal itu, bisa dilihat dari geliat harga emas yang cenderung naik dan membuka peluang untuk kembali mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa, setelah dua kali pada pekan lalu.
Berdasarkan data Refinitiv harga emas dunia di pasar spot pada 16 September 2024, tercatat US$2.579,08 per troy ons, naik 0,10% dari posisi sebelumnya. Kenaikan ini tak lepas dari optimisme pasar yang yakin jika Trump menjadi presiden dinilai bisa membawa ekonomi AS lebih baik. Bahkan ekonomi akan pulih dan tumbuh lebih cepat, yang akan menjadi kabar buruk bagi pergerakan harga emas.
Optimisme pasar ini bukan tanpa dasar, sebab dulu saat awal pemerintahan Trump, suku bunga The Fed berada di angka 0,50%-0,75%. Puncaknya berada di angka 2,25-2,50% terjadi pada Desember 2018-Juni 2019.
Suku bunga yang tinggi terjadi saat inflasi menyentuh angka 2,7% per tahun. Ini terjadi pada Februari 2017 hingga Juli 2018. Oleh karena itu suku bunga dinaikkan cukup signifikan dan waktu singkat. Kemudian Maret 2020 saat awal pandemi, suku bunga menurun cukup rendah 0,00-0,25%.
Selama pemerintahan Trump 2017-2021, produk domestik bruto (PDB) negara tersebut tumbuh 6,8%. Bahkan saat pandemi memaksa ekonomi mengalami resesi tajam. Ekonomi kembali pulih dengan cepat dengan stimulus triliunan dolar. Ekonomi AS juga kembali tumbuh saat Trump meninggalkan posisi presiden.
Inflasi juga cenderung terkendali dan rendah saat itu, dengan posisi tertinggi 3% pada Juni/Juli 2018. Selain itu tingkat pengangguran rendah saat Trump menjadi presiden pada akhir 2019 sebesar 3,5%.
Namun Saat Joe Biden mundur pencalonan presiden, harga emas cenderung turun. Harga emas sempat berada pada level tertinggi sepanjang masa pada 17 Juli 2024. Harganya menyentuh US$2.483,6 per troy ons pada perdagangan intraday. Namun harga emas tidak mampu bertahan. Bahkan turun sebesar 4% ke level terendah pada 22 Juli 2024 senilai US$2.383,79 per troy ons.
Terlepas dari itu, Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve, membuat dag dig dug. Pasalnya The Fed bersiap untuk mengumumkan pemotongan suku bunga pertamanya selama lebih dari empat tahun pekan ini, tepatnya Rabu 18 September waktu AS atau Kamis 19 September waktu RI.
Pejabat senior di bank sentral AS termasuk Ketua Fed Jerome Powell dalam beberapa minggu terakhir mengindikasikan bahwa pemotongan suku bunga akan dilakukan bulan ini, karena inflasi mereda menuju target jangka panjang bank sebesar dua persen, dan pasar tenaga kerja terus mendingin.
The Fed, yang memiliki mandat ganda dari Kongres AS untuk bertindak secara independen guna memastikan harga yang stabil dan lapangan kerja berkelanjutan yang maksimal, telah berulang kali menekankan bahwa pihaknya akan membuat keputusan mengenai pemotongan suku bunga hanya berdasarkan data ekonomi.
Meski begitu, pemotongan pada hari Rabu mungkin akan sangat berdampak. Pasalnya ini terjadi persis dua bulan sebelum pemilihan umum (pemilu) AS di mana mantan presiden dari Partai Republik, Donald Trump, akan melawan Wakil Presiden AS saat ini dari Partai Demokrat saat ini, Kamala Harris.
Mengutip CNBCIndonesia Senin (16/9/2024), perdebatan sengit pasti akan terjadi di tengah pembuat kebijakan Senin dan Rabu nanti. Mereka kemungkinan akan berkutat di berapa besar pemotongan akan dilakukan, 25 atau 50 basis poin (bps).
“Meskipun saya pikir The Fed mencoba mengatakan bahwa mereka bukan hewan politik, kita berada dalam siklus yang sangat liar saat ini,” kata seorang profesor ekonomi di Universitas Northeastern, Alicia Modestino, kepada AFP.
Pemangkasan terakhir yang dilakukan The Fed terjadu Maret 2020. Saat itu, suku bunga dipangkas mendekati nol untuk mendukung ekonomi AS selama pandemi COVID-19.
The Fed mulai menaikkan suku bunga pada tahun 2022 sebagai respons terhadap lonjakan inflasi, yang sebagian besar dipicu oleh krisis pasokan pascapandemi dan perang di Ukraina. Bank sentral itu telah mempertahankan suku bunga pinjaman utamanya pada level tertinggi dalam dua dekade antara 5,25 dan 5,50% selama 14 bulan terakhir, sambil menunggu kondisi ekonomi membaik.
Kini, dengan inflasi yang menurun, pasar tenaga kerja yang mendingin dan ekonomi AS yang masih tumbuh, para pembuat kebijakan telah memutuskan bahwa kondisi sudah tepat untuk pemangkasan.
Pemangkasan kecil sebesar 25 bps bisa berguna untuk melonggarkan kebijakan sementara pemangkasan yang lebih agresif sebesar 50 bps akan membantu pasar tenaga kerja meski berisiko memicu kembali inflasi.
“The Fed menyukai prediktabilitas. Jadi pemotongan 25 bps sekarang, diikuti oleh pemotongan 25 bps lagi pada bulan November setelah putaran data ekonomi berikutnya, menawarkan jalur yang agak lebih mulus bagi perekonomian,” kata Modestino seraya meyakini pemotongan kecil akan dilakukan.
“Kami memperkirakan Fed akan memangkas sebesar 25 bps,” tulis ekonom lain di Bank of America dalam catatan terbaru kepada klien.
“Pelunakan pasar tenaga kerja yang berkelanjutan kemungkinan akan memicu pemotongan yang lebih besar jika tidak pada pertemuan FOMC ini maka pada bulan November dan Desember,” tulis ekonom Citi dalam catatan terbaru kepada klien, mengacu pada Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang menetapkan suku bunga.
Sementara itu, para trader di Wall Street melihat peluang lebih dari 99% untuk The Fed setidaknya melakukan empat kali pemotongan lagi pada suku bunga di tahun 2025. Di mana The Fed bisa menurunkan suku bunga pinjaman utama menjadi antara 3,5 dan 3,75%, 175 bps di bawah level saat ini.(fuz/*)
Tags: Amerika Serikat, Donald Trump
-
Raden Minda Kusumah Raih Penghargaan Dosen Terbaik Politeknik Pajajaran ICB Bandung 2025
-
Kejagung Inginkan Sinergitas Dengan PWI Terjaga Dengan Baik
-
CDC UBP Karawang – BRI Region 7 Jakarta 2 Gelar Campus Hiring
-
Mantan Napi Kepergok Curi Motor di Cibungbulang Dihajar Massa, Satu Kawanannya Kabur
Mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. (Foto: Joshua Roberts/Getty Images)