Prabowo: Ini Penjara khusus Koruptor

Prabowo Subianto. (Foto: Istimewa)

Jakarta, pelitabaru.com

Presiden Prabowo Subianto benar-benar memegang teguh komitmennya dalam memberantas korupsi di Indonesia. Buktinya, kepala negara bakal membangun penjara khusus koruptor. Menurutnya, penjara itu akan dibangun disebuah pulau terpencil dan sangat kokoh. Pemilihan pulau terpencil ini sengaja dipilih agar para tahanan koruptor tidak dapat keluar di malam hari, dirinya juga sempat bergurau akan menempatkan penjara tersebut di suatu pulau yang dikelilingi ikan hiu.

“Saya juga akan sisihkan dana buat penjara di suatu tempat yang terpencil mereka nggak bisa keluar. Kita akan cari pulau, kalau mereka keluar biar ketemu sama hiu,” kata Prabowo di Kemendikdasmen, Kamis (13/3/2025).

Lebih lanjut, Prabowo juga mengaku siap mengorbankan nyawanya untuk Indonesia dalam memberantas korupsi di Tanah Air.

“Saya tidak akan mundur menghadapi koruptor. Mereka harusnya mengerti saya ini siap mati untuk bangsa dan negara ini. Mafia mana pun saya tidak takut,” tegas Prabowo.

Prabowo meyakini seluruh elemen masyarakat mendukung tindakan pemberantasan korupsi yang dilakukannya, dengan begitu dirinya mengaku tak takut dalam memberantas korupsi di Indonesia.

“Kita akan mengusir mereka dari bumi Indonesia kalau perlu,” klaim Prabowo.

Dalam kaitan itu, Prabowo menyatakan bahwa negara dengan tingkat korupsi tinggi biasanya menjadi negara yang miskin. Sebab, dirinya memandang perilaku tersebut dapat menyengsarakan banyak pihak hingga menghancurkan suatu negara.

“Nggak ada negara yang korupsi gila-gilaan bisa kaya, tidak ada. Korupsi menuju negara hancur. Saya tidak akan mundur menghadapi koruptor,” ucap Prabowo.

Sebelumnya diberitakan Pelita Baru, Menteri Agama Nasaruddin Umar bahkan mengatakan pelaku korupsi atau koruptor ‘nerakanya lebih jahanam’ daripada pelaku pencurian biasa.

Hal itu disampaikan Nasaruddin dalam agenda ‘Membangun Integritas Bangsa Melalui Peran Serta Masyarakat Keagamaan’ di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta Selatan, Rabu (12/3/2025).

Dalam pemaparannya, Nasaruddin Umar menyinggung perihal hukuman mati bagi koruptor. Pandangan itu melengkapi apa yang telah disampaikan Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto, yang menjelaskan hukuman mati bagi koruptor sudah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Baca Juga :  Prabowo Temui Jokowi di Solo, Bahas Pertemuan dengan Mega?

Dalam aturan itu, pidana mati dapat diterapkan dalam keadaan tertentu yakni dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Namun, hukuman tersebut belum pernah diterapkan. Sementara, Nasaruddin menjelaskan dalam hukum islam ada kaidah ‘Apa yang tidak bisa kita lakukan semaksimal mungkin, jangan meninggalkan semuanya’.

Menurutnya, apa yang telah dilakukan KPK sejauh ini bukan berarti tidak melakukan sesuatu yang sangat signifikan.

“Apa sih yang dimaksud hukuman mati? Dalam bahasa Arab, mati itu bisa berarti melenyapkan nyawa. Tapi, mati itu juga bisa berarti mematikan harga dirinya, mematikan kesempatan kerjanya, mematikan gairah hidupnya, mematikan status sosialnya, mematikan martabatnya, mematikan semuanya,” ungkap Nasaruddin.

“Jadi, orang yang sudah menjalani hukuman yang telah ditetapkan KPK itu dengan segala macam penayangan itu, jangan-jangan itu lebih kejam daripada kematian,” imbuhnya.

Ia menjelaskan mati dalam hal ini bisa bermakna luas. Bisa saja, hukuman yang dijalani koruptor hingga kini lebih berat dibandingkan mati karena hilangnya nyawa.

“Karena orang kalau mati sudah selesai enggak ada rasa malu lagi. Tapi, kalau ini ditayangkan berkali-kali lagi kan, jangan-jangan kalau disuruh orang milih, mana yang disuruh pilih, ditayangkan seperti itu atau ditembak. Jangan-jangan lebih banyak orang lebih memilih ditembak,” ucap Nasaruddin.

“Jadi, mati di sini bisa berarti mematikan harga diri, mematikan kariernya, mematikan kesempatan kerja, mematikan hak politiknya. Jadi, mati di situ sudah berlaku hukum mati di situ,” sambung pria yang pernah menjadi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag itu tersebut. (fuz/*)

Tags: ,