Jakarta, Pelitabaru.com
Sosok Agus Rahardjo, belakang ini menyeruak menuai sorotan. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tiba-tiba muncul dan berstatmen soal intervensi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penanganan kasus di lembaga antirasuah saat dirinya menjabat.
Menyikapi hal ini, praktisi hukum muda, Mellisa Anggraini menilai jika pernyataan Agus terlalu tertalu ‘ngawur’ dan tendensius serta berbau politis karena disampaikan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu).
“Saya melihat yang disampaikan oleh mantan Ketua KPK Agus Rahardjo ini tidak memiliki fakta hukum,” ujar pengacara muda asal Batam kelahiran 13 Oktober 1987 ini.
Lebih lanjut, Mellisa juga meragukan pertemuan Agus dengan Jokowi. Ia berpendapat, jika pun benar, perintah yang dimaksudkan Jokowi adalah terkait kasus surat palsu yang menjerat Agus dan mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Sebab, ia menyebut, pernyataan Agus soal penghentian kasus itu, kontradiktif dengan sikap Jokowi yang telah beberapa kali mengimbau KPK untuk memberantas korupsi di Tanah Air. Termasuk, secara faktual, kasus e-KTP telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan terdakwa telah dijatuhi hukuman berat.
Bahkan, dia juga mencatat bahwa Jokowi telah beberapa kali menekankan untuk menghukum berat koruptor dan pejabat negara yang terlibat dalam praktik korupsi. Karena itu, Mellisa menyimpulkan Agus menuduh demikian, dia seharusnya membuktikannya, mengingat statusnya sebagai seorang tokoh hukum.
Mellisa juga tidak setuju dengan pandangan bahwa kegagalan intervensi Jokowi terhadap Agus menjadi dasar lahirnya revisi Undang-Undang (UU) KPK. Menurutnya, wacana revisi UU KPK sudah ada sejak sebelum Jokowi menjabat sebagai presiden, dan inisiasi revisi UU KPK berasal dari DPR.
“Jadi, warna-warni yang di DPR memutuskan secara bulat revisi UU KPK karena sudah lama. Nah, ini terlalu tendensius yang disampaikan, Pak Agus Rahardjo harus membuktikan tudingannya,” tuturnya.
Sementara itu, pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing meminta Agus Rahardjo membuktikan pernyataan terkait adanya intervensi tersebut.
Sehingga bisa dibuka dengan formal, maka para pihak yang dirugikan, terutama Jokowi pada posisi merasa dirugikan, seharusnya ia melaporkan Agus Rahardjo ke aparat penegakan hukum. Sebab, pernyataan Agus Rahardjo tersebut dapat dikategorikan sebagai tuduhan yang serius. Karena, jika benar, reputasi Presiden Jokowi akan tergerus merosot di tengah masyarakat.
“Untuk itu, ada dua hal yang harus dilakukan para pihak terkait agar seluruh rakyat Indonesia mengetahui secara terang benderang tentang kasus yang diungkap ke publik oleh Agus Rahardjo. Rakyat berhak tahu,” ungkap Emrus.
Ia juga mendesak agar pihak-pihak yang terkait membuka terang pengakuan Agus Rahardjo tersebut. Karena menurutnya, dari aspek komunikasi publik, pernyataan Agus Rahardjo tersebut harus dibuka secara terang benderang. Sehingga tidak ada Drama Korea (Drakor) di antara sesama anak bangsa.
Dilain pihak, Ketua DPP PSI, Ariyo Bimmo juga meminta Agus Raharjo menunjukkan bukti-bukti atau saksi untuk mendukung pernyataannya bahwa Presiden Jokowi meminta penghentian kasus Setya Novanto.
“Pak Agus punya sangat banyak pilihan waktu dan kesempatan untuk menyampaikan (tuduhan ini). Kenapa baru sekarang? Apa karena Pak Agus sedang mencalonkan diri sebagai anggota DPD dan perlu menarik perhatian publik?” ujarnya.
Menurut dia, tuduhan tanpa bukti tidak pantas dilakukan oleh seorang mantan pimpinan KPK.
“Semua orang bisa saja menyampaikan sesuatu, tetapi jika tidak dibarengi bukti dan atau saksi, itu bisa menjadi dusta, fitnah, atau hoax. Pak Agus mantan pimpinan lembaga terhormat, silakan menyodorkan, publik menunggu,” tandas Bimmo.
PSI, kata Bimmo, berharap Agus Rahardjo memberikan teladan kepada masyarakat dengan berbicara hanya berdasarkan bukti.
“Di saat kita membutuhkan pemilu tanpa hoax, tuduhan-tuduhan tanpa bukti akan sangat merusak,” pungkas Bimmo.
Pun begitu, Sekretaris TKN Prabowo-Gibran Nusron Wahid juga meminta kepada Agus untuk membuktikan pernyataannya itu.
“Buktikan dong, kalau dia benar-benar dilakukan itu, jam berapa, di mana, pukul berapa, foto di mana, CCTV-nya ada apa tidak, dibuktikan, kalau memang seperti itu yang bersangkutan merasa itu,” kata Nusron.
Nusron menegaskan, jika adanya pengakuan sepihak itu harus dibuktikan, karena pengakuan sepihak itu tidak diperbolehkan.
“Tapi namanya pengakuan itu nggak boleh sepihak. Makanya, alat hukum itu baru bisa menjadi bukti konkret kalau dua alat bukti. kalau hanya sepihak nggak mungkin,” tutur Nusron.
Politisi Partai Golkar itu juga meminta pihak Agus untuk mengungkap bukti tersebut jika memilikinya, tidak hanya main klaim saja.
“Kalau memang Pak Agus Raharjo mempunyai bukti-bukti itu ya silakan diungkap kalau memang dia mengatakan itu, jangan hanya klaim-klaim saja dan rumor kalau sifatnya itu,” terang Nusron.
Sebelumnya, Agus Rahardjo dalam satu acara mengungkapkan bahwa ia pernah diminta oleh Presiden Jokowi untuk menghentikan kasus korupsi KTP elektronik yang melibatkan Setya Novanto.
“Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh Presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara). Jadi, saya heran biasanya manggil (pimpinan KPK) berlima ini kok sendirian. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tetapi lewat masjid kecil,” kata Agus.
“Itu di sana begitu saya masuk Presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak ‘hentikan’. Kan saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan,” tambahnya.
Pernyataan Agus dikuatkan mantan pimpinan KPK Saut Sitomorang yang membenarkan bahwa Ketua KPK Agus Rahardjo pernah kena marah Presiden Jokowi karena mengusut kasus korupsi E KTP.
Mantan Wakil Ketua KPK itu bercerita itu didapatkannya langsung dari Agus Rahardjo jelang jumpa pers penyerahan mandat atau tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Presiden Jokowi.
“Aku jujur aku ingat benar pada saat turun ke bawah Pak Agus bilang ‘Pak Saut, kemarin saya dimarahi (presiden), ‘hentikan’ kalimatnya begitu,” kata Saut saat dikonfirmasi, Jumat (1/12/2023) seperti dikutip Tribunnews.com.
Untuk diketahui, pada Jumat, 13 September 2019, tiga pimpinan KPK saat itu yakni Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Laode M Syarif menyerahkan tanggung jawab atau mandat pengelolaan KPK ke Presiden Jokowi.
Hal itu berkaitan dengan revisi UU KPK yang dinilai banyak pihak melemahkan kinerja pemberantasan korupsi. Pimpinan dan pegawai KPK menyatakan keberatan terhadap revisi dimaksud.
Namun, berbagai protes mereka tidak didengar hingga akhirnya perubahan kedua UU KPK disahkan. Saut menduga sikap lima pimpinan KPK terhadap kasus e-KTP yang menjerat Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar saat itu, Setya Novanto, sudah diketahui Jokowi.
Menurut Saut, tiga pimpinan KPK menyetujui penyidikan kasus tersebut sementara dua lainnya menolak. Sehingga ia menduga bocoran sprindik status tersangka Setya Novanto dibocorkan sendiri oleh seseorang yang menjabat sebagai pimpinan KPK saat itu.
Namun Saut tidak mengetahui kenapa Presiden hanya memanggil Agus Rahardjo ke Istana.
“Dalam pikiran kotor aku pasti ada bocoran kan skornya 3-2. Tahulah Anda yang 2 siapa, yang 3 siapa. Jadi, mungkin dia (presiden) dengar-dengar dan panggil saja. Mungkin di pikiran yang perintah seperti itu. Tapi, enggak tahu lah kenapa (Agus Rahardjo) dipanggil sendirian,” kata Saut.
Saut mengapresiasi sikap bijak Agus yang melawan permintaan presiden untuk menghentikan penanganan kasus e-KTP.
“Sebagai pimpinan, aku nilai dia (Agus Rahardjo-red) bijak lah dia ke sana (istana), tapi aku rasa dia punya feeling itu arahnya ke mana. Kalau pak Agus bisa dipengaruhi, berubah tuh skornya dari 3-2. Tapi, kan sudah ada tanda tangan Sprindik (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan),” imbuhnya.
Terlepas dari kontroversi yang muncul, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana membantah tudingan Agus Raharjo. Menurut Ari, tidak ada agenda pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan mantan Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo yang membahas proses hukum Setya Novanto dalam perkara korupsi KTP elektronik.
“Terkait dengan pernyataan Bapak Agus Rahardjo yang disampaikan di sebuah media, saya ingin menyampaikan beberapa hal. Yang pertama, setelah dicek tidak ada pertemuan yang disebut-sebut dalam agenda presiden,” ujar Ari Dwipayana.
Presiden Jokowi telah menegaskan agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK dan yakin bahwa proses hukum itu akan berjalan dengan baik, seperti yang diungkapkan dalam siaran pers melalui laman Sekretariat Kabinet pada 17 November 2017.
Ari menekankan bahwa proses hukum terhadap Setya Novanto pada 2017 berjalan dengan baik hingga berujung pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, Ari juga menegaskan bahwa revisi Undang-Undang KPK pada 2019 merupakan inisiatif DPR dan bukan inisiatif pemerintah. Revisi tersebut terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka terhadap Setya Novanto.
“Perlu diperjelas, bahwa revisi UU KPK pada 2019 itu inisiatif DPR. Bukan inisiatif pemerintah,” katanya. (fuz/*)
Tags: Agus Rahardjo, KPK, Presiden Jokowi