Perhitungan Kerugian Negara Kerap Hambat KPK

Ilustrasi KPK. (Foto: Shutterstock)

Jakarta, Pelitabaru.com

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui, penyelesaian kasus-kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa terutama yang terkait Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor kerap terhambat dalam proses perhitungan kerugian keuangan negara. Hal ini tidak hanya dialami KPK, tetapi juga aparat penegak hukum lainnya seperti Polri dan Kejaksaan Agung.

“Sebanyak 90 persen lebih perkara di daerah itu menyangkut Pasal 2 Pasal 3 pengadaan barang dan jasa, praktis di situ harus ada pembuktian terkait kerugian negara, ini yang selama ini sering terhambat teman-teman penyidik di kejaksaan daerah itu,” kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (22/12/2021).

Pimpinan KPK berlatar belakang Hakim ini menyampaikan, sebagaimana dalam Pasal 2 UU Nomor 3 Tahun 1999 diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Sementara Pasal 3 UU Tipikor menyatakan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Alex mengutarakan, dalam kedua pasal itu mensyaratkan adanya unsur kerugian keuangan negara. Sementara, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 menyebutkan instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK.

Baca Juga :  Anggota DPR Fraksi Nasdem ‘Diciduk’ Kejaksaan Agung

Sedangkan instansi lainnya, seperti BPKP, inspektorat dan sebagainya tetap berwenang melakukan pemeriksaan, tetapi tidak berwenang menyatakan adanya kerugian keuangan negara. Menurutnya perhitungan kerugian keuangan negara ini menjadi perdebatan yang cukup alot di antara aparat penegak hukum.

Meski tidak selalu meminta BPK, aparat penegak hukum, terutama di daerah kerap kesulitan merampungkan penyidikan kasus korupsi karena lamanya proses perhitungan kerugian keuangan negara.

“Mereka selalu mengeluhkan lamanya audit, meskipun mereka tidak hanya meminta BPK, tapi lebih banyak sebetulnya BPKP, dari situ saja sebetulnya SEMA ini sudah kehilangan maknanya, karena teman-teman penyidik meminta bantuan BPKP untuk audit,” ucap Alex.

Alex mengutarakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan penyidik bisa melakukan perhitungan kerugian negara menjadi angin bagi penegak hukum. Karena dalam sejumlah perkara korupsi seperti pekerjaan fiktif, kerugian keuangan negara dapat tergambar ketika uang negara atau daerah sudah dikeluarkan untuk suatu pekerjaan, namun pekerjaan itu tidak dilaksanakan.

“Jadi penyidik juga bisa, hakim dengan bukti pengeluaran uang, enggak ada imbalannya, pasti juga yakin, kan begitu. Pertanyaan selanjutnya sebetulnya siapa dalam perkara korupsi itu yang menentukan besarnya kerugian negara, yang nanti akan dibebankan ke pidana? bukan BPK, bukan BPKP, bukan penyidik, dan sebagainya, tetapi yang menentukan itu hakim, lewat putusannya tadi,” pungkas Alex.(ega/net)

Tags: , , ,