Kok, Pertamax Berubah Menjadi BBM Bersubsidi?,,, Apa Gak Salah Tuh,,,!

Ilustrasi Pertamina. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Pelitabaru.com

Rencana subsidi Pertamax (RON 92) menuai banyak sorotan. Apa Pertamax? Disubsidi? Apa gak salah tuh!. Tak sedikit pula kalangan pengamat yang mengaku heran dan mengangkat alis dengan kebijakan ini.

Adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengusulkan Pertamax untuk dijadikan BBM bersubsidi. Bahkan menurut Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, rencana ini juga turut dibahas dalam rapat terbatas mengenai polisi udara di Istana Negara, Senin (28/8/2023).

“Nanti ditunggu ya (nasib Pertamax jadi BBM subsidi), karena ada sidang kabinet hari ini,” ujar Dadan singkat dikutip dari CNNndonesia.

Sebelumnya, Dadan juga sempat menyampaikan rencana untuk membatasi penyaluran BBM jenis Pertalite (RON 90). Di sisi lain, pihak instansi juga berencana memberikan subsidi kepada BBM jenis Pertamax.

Dadan mengatakan, rencana pembatasan BBM Pertalite saat ini masih di tingkat pembahasan internal. Pasalnya, keputusan itu perlu mempertimbangkan sisi teknis maupun ekonomi.

“Kita lagi bahas, lagi lihat secara teknis maupun secara regulasi dan secara keekonomian, karena kan berbeda. Tapi kami masih bahas di internal,” ujar Dadan di Bali, beberapa waktu lalu.

Pembahasan internal itu pun termasuk rencana mengalokasikan anggaran BBM subsidi untuk Pertamax.

“Itu termasuk yang sedang dibahas,” imbuh Dadan.

Dadan menyebut, pembahasan ini digelar lantaran bahan bakar dengan tingkat oktan rendah semisal Pertalite punya peluang lebih besar untuk menyumbang polusi udara.

Di sisi lain, semakin tinggi nilai oktan atau research octane number (RON) yang terkandung di dalamnya, maka pembuangan emisinya akan lebih sedikit.

“Kan secara teknis makin tinggi angka oktan, pembakarannya makin bagus. Kalau pembakaran makin bagus, emisinya akan semakin sedikit. Jadi kita lagi lihat juga, apakah bisa dilakukan upaya untuk peningkatan angka oktan untuk bahan bakar,” tuturnya.

Namun berbeda dengan Dadan, Menteri ESDM Arifin Tasrif justru membantah pemerintah bakal mensubsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) pertamax demi mengurangi polusi di Jakarta yang memburuk akhir-akhir ini.
Arifin bahkan menyebut tak ada pembahasan mengenai pemberian subsidi pertamax. Ia menyatakan isu tersebut tidak benar.

“Tidak ada wacana itu (subsidi pertamax), yang karang-karang siapa?” ujarnya usai di Komplek Istana Negara, Senin (28/8/2023).

Arifin menekankan sampai saat ini pertamax adalah jenis BBM yang tidak disubsidi oleh pemerintah. Itu beda halnya dengan pertalite dan solar.

“Kan nggak ada subsidi pertamax. Kan udah dibilangin. Pertamax emang disubsidi ? tidak kan,” jelasnya.

Namun, ia mengakui memang ada pembahasan mengenai BBM ramah lingkungan yang perlu didorong penggunaannya di saat seperti ini. Namun, pembahasan tidak pernah soal subsidi pertamax.

“Ini masalah BBM ini banyak contohnya BBM yang memang tingkat polutannya bersih segala macem. kita masih memang memakai BBM yang memang (hasilkan polusi). Tapi intinya gimana ini bisa mengurangi polusi dari transportasi. Nggak ada pembahasan mengenai subsidi pertamax,” pungkasnya.

Menyikapi hal ini, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ Achmad Nur Hidayat menilai bensin beroktan tinggi seperti Pertamax memang memiliki keunggulan dalam pengurangan emisi, memberikan dampak positif bagi kualitas udara. Namun, pemberian subsidi ini melibatkan penimbangan aspek-aspek teknis, regulasi, dan ekonomi yang cermat.

“Pertimbangan penting adalah menghindari gangguan terhadap pasokan dan mobilitas masyarakat. Pembatasan penyaluran BBM beroktan rendah, seperti Pertalite, dapat menghambat operasional sektor-sektor vital, seperti industri kecil, perikanan, pertanian, transportasi, dan pelayanan umum,” jelasnya melalui keterangan tertulisnya, Senin (28/8/2023).

Lebih ironisnya, lanjut Achmad, rencana pemindahan subsidi ke Pertamax dapat menyebabkan ketidaksetaraan, di mana kelompok masyarakat yang memerlukan BBM beroktan rendah malah mendapatkan beban tambahan.

“Mengacu pada anggaran kompensasi energi yang mencapai ratusan triliun rupiah, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah alokasi ini sudah efektif dan tepat sasaran? Mengalokasikan sejumlah besar anggaran bagi Pertamax—bensin yang sering diasosiasikan dengan kendaraan mewah—bisa jadi memberi kesan bahwa pemerintah lebih mengutamakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu,” paparnya.

Baca Juga :  Dunia Dilanda Krisis Energi

CEO Narasi Institute ini lantas menyarankan pemerintah untuk tidak melupakan masyarakat berpenghasilan rendah yang bergantung pada BBM beroktan rendah. Kebijakan harus inklusif dan memastikan tidak ada yang terpinggirkan dalam upaya memperbaiki kualitas udara.

Apabila pemerintah bersungguh-sungguh ingin menjadikan udara bersih sebagai prioritas, maka harus ada transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran. Fokus harus ditempatkan pada upaya peningkatan efisiensi dan pengawasan ketat agar tidak terjadi pemborosan.

“Membahas wacana subsidi Pertamax dan anggaran kompensasi energi bukanlah hal yang sederhana. Namun, langkah pertama yang paling kritis adalah memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil mendukung seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya beberapa kelompok tertentu,” ungkapnya.

Menurutnya, pembahasan mengenai subsidi Pertamax dan anggaran kompensasi energi yang terkait menghadirkan permasalahan penting yang perlu diperhatikan, terutama dalam konteks dampaknya bagi masyarakat.

“Transparansi, akuntabilitas, dan inklusivitas—ketiga prinsip ini harus menjadi landasan dalam pengambilan keputusan seputar energi di Indonesia,” tukasnya.

Sedangkan, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyebut, berdasarkan kajiannya, harga BBM dengan RON 95 di Malaysia pada Desember 2022 lalu bahkan dijual pada harga di bawah Rp 10.000 per liter.

Harga BBM tersebut berlaku saat harga minyak berada pada level US$ 75-79 per barel. Ini tentunya lebih murah dibandingkan harga BBM non subsidi, Pertamax (RON 92) yang sebesar Rp 13.900 per liter pada Desember 2022.

Sementara di Indonesia, harga BBM bersubsidi setara Pertalite (RON 90) dibanderol pada harga Rp 10 ribu per liter.

“Harga BBM setara bensin RON 95 di Malaysia di bawah Rp 10.000 per liter pada periode Desember 2022, pada saat rata-rata harga minyak US$ 75 – US$ 79 per barel,” bunyi hasil kajian ReforMiner Institute, dikutip Senin (28/8/2023).

Selain memberikan subsidi pada BBM dengan nilai oktan (RON) 95, Malaysia juga memberikan subsidi pada Solar dengan cetan number (CN) di atas 51 atau hampir setara Pertamina Dex.

Sementara Indonesia memberikan subsidi dan kompensasi pada BBM jenis bensin dengan RON 90 atau setara Pertalite, Solar subsidi (CN 48), dan minyak tanah (kerosene).

Dia menyebut, harga BBM di Malaysia dihitung berdasarkan sistem Automatic Pricing Mechanism (APM). Dengan menggunakan sistem APM itu, harga BBM di Malaysia berubah setiap sepekan sekali, mengikuti harga minyak mentah dan besaran subsidi yang telah ditetapkan pemerintah.

“Harga BBM Malaysia dihitung menggunakan Automatic Pricing Mechanism (APM), berubah setiap minggu mengikuti rata-rata harga minyak dan besaran subsidi yang telah ditetapkan Pemerintah Malaysia,” tuturnya.

Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis, Putra Adhiguna justru meragukan apakah tujuan penggeseran subsidi tersebut demi mengurangi emisi. Sebab, mekanisme dasar seperti standar penghematan bahan bakar yang banyak diterapkan negara lain saja tidak diadopsi oleh pemerintah.

Dia berpendapat, mendorong penggunaan bahan bakar dengan oktan tinggi seperti Pertamax memang baik. Namun, menurutnya, subsidi hanya diberikan untuk kalangan yang tidak mampu. Artinya harus diperjelas pemberian subsidi tersebut akan diberikan dan ditargetkan untuk masyarakat pada golongan mana.

“Terlebih bila tidak dibarengi dengan usaha lain untuk menekan penggunaan BBM, baik distribusi Pertalite yang tepat sasaran maupun perbaikan fuel economy kendaraan. Jangan hanya fokus memindahkan masalah subsidi, tapi beranikan untuk masuk dari sisi regulasi kendaraan juga,” tutur Putra.

Lebih lanjut, Putra juga menduga bisa saja rencana membuka opsi mengalirkan subsidi ke Pertamax ini merupakan cara ‘sembuyi’ dari pemerintah untuk menggantikan BBM yang disubsidi dari semula Pertalite menjadi Pertamax.

“Kita pernah melihat cara seperti ini sewaktu Pertalite digulirkan sebagai ‘jalan tengah’ antara Premium dan Pertamax. Pertanyaan berikutnya tentu akan menjadi, bagaimana hitungannya, dan apa rencana paralel lain yang pemerintah tengah rencanakan?. Secara konsumsi pertalite jauh lebih besar, jadi hitungannya akan penting seperti apa,” tandasnya. (adi/fuz/gin/*)

Tags: ,