Dunia Dilanda Krisis Energi

Ilustrasi. (Foto: Rengga Sancaya/detik.com)

New York, Pelitabaru.com

Amerika Serikat akhirnya harus merasakan krisis energi yang sedang melanda dunia global. Krisis energi yang terjadi memberikan dampak yang bermacam-macam. Mulai dari kekurangan pasokan BBM hingga krisis listrik.

Krisis energi yang melanda Amerika Serikat terlihat dari proyeksi penyedia energi pemanas negara itu yang menyebut  akan ada kenaikan tarif pada musim dingin mendatang.

Dalam pernyataan Administrasi Informasi Energi AS (EIA), Rabu (13/10/2021), disebutkan bahwa kenaikan ini disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar. Itu akibat permintaan yang melampaui suplai.

“Saat ini pertumbuhan permintaan energi umumnya melampaui pertumbuhan pasokan,” kata Pejabat Administrator EIA Steve Nalley dalam rilisnya sebagaimana diwartakan Reuters.

“Dinamika ini menaikkan harga energi di seluruh dunia.”

Hampir setengah dari rumah tangga AS bergantung pada gas alam untuk panas. Dengan biaya rata-rata untuk rumah tersebut diperkirakan akan naik 30% menjadi US$ 746 (Rp 10,6 juta) untuk periode Oktober-Maret dibanding bulan yang sama di tahun 2020, yang masih berada dalam kisaran US$ 573 (Rp 8,15 juta).

Sebelumnya hal yang sama juga disampaikan beberapa perusahaan utilitas. Mereka mencemaskan defisit bahan bakar benar-benar terjadi pada musim dingin ini dan memicu pemadaman.

“Utilitas khawatir aset yang mereka miliki tidak bisa mendapatkan bahan bakar yang cukup,” kata Chief Executive Officer XcoalEnergy & Resources LLC Ernie Thrasher, dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg.

Untuk menutup defisit ini, beberapa penyedia layanan utilitas telah beralih ke batu bara. Diperkirakan Negeri Paman Sam akan mengalami kenaikan konsumsi bahan bakar dengan polutan tinggi itu hingga 23.%.

Ini cukup bertentangan dengan komitmen negara itu terhadap batu bara. Sebelumnya, Presiden AS Joe Biden menekankan janjinya dalam investasi sebesar US$ 2 miliar (Rp 28 triliun) untuk mendukung negara-negara berkembang agar beralih dari pembangkit listrik tenaga batu bara.

“Kami akan fokus pada percepatan kemajuan pada elektrifikasi dan baterai, hidrogen, penangkapan karbon, penggunaan dan penyimpanan, penerbangan dan pengiriman nol emisi, dan bagi negara-negara yang memilih untuk menggunakannya, tenaga nuklir,” ucap Biden dan pemimpin negara G7 lainnya dalam KTT Juni lalu.

Sebelum Amerika Serikat, Inggris terlebih dahulu dilanda krisis energi karena negara itu memisahkan diri dari Uni Eropa atau disebut Brexit. Keputusan Brexit ini disebut tidak mempertimbangkan banyak hal seperti energi dan tenaga kerja. Setelah Brexit, pemerintah Inggris memang mengurangi jumlah unskilled labor atau pekerja tidak terampil masuk ke Inggris.

Jadi, sejak Brexit Inggris diperkirakan mengalami kekurangan sopir truk dari 60.000 sampai 100.000 sopir. Sopir truk itu untuk mengangkut barang berat termasuk BBM. Keadaan diperparah dengan pandemi, sekitar 25.000 pekerja disebut tidak kembali ke Inggris.

“Pandemi telah memotivasi pengemudi HGV UE untuk kembali ke negara asal mereka (UE), dan beberapa pengemudi Inggris yang sudah tua mengambil pensiun dini,” kata laporan Driver Require.

Karena timbulnya kepanikan di masyarakat dan menyebabkan antrean yang mengular di pom bensin. Pemerintah sampai mengerahkan para tentara untuk melakukan pengiriman bahan bakar minyak (BBM). Mereka dikerahkan menyusul aksi panic buying bensin yang terjadi di beberapa wilayah di Inggris.

Melansir CNBC, sebanyak 200 personel militer Inggris akan dikerahkan sebagai bagian dari Operasi Escalin. Operasi itu merupakan strategi yang dirancang oleh pemerintah Inggris untuk membantu meringankan kendala pasokan bahan bakar yang disebabkan oleh kekurangan pengemudi truk.

Beralih ke China, raksasa ekonomi dunia ini juga tengah merasakan krisis energi karena berbagai faktor, mulai dari kondisi pasca-pandemi hingga dorongan nasional untuk mengurangi emisi karbon. Akibatnya ratusan tambang batu bara tutup atau memangkas produksi awal tahun ini.

Baca Juga :  Dalam Waktu 1,5 Jam, Prabowo Tundukkan Amerika

Dibatasinya kiriman batu bara dari Australia hingga faktor cuaca juga turut memperburuk krisis energi di sana. Hujan deras yang sebelumnya terjadi di Provinsi Shanxi dan Shaanxi menghambat produksi batu bara. Apalagi, dua provinsi tersebut merupakan pusat penambangan utama yang menyumbang hampir setengah dari total produksi batu bara di China.

Analis Citi dalam laporannya mengatakan krisis energi ini akan berlanjut hingga musim dingin.

“Kami memperkirakan krisis batu bara dan pasokan listrik China akan berlanjut hingga musim dingin,” tulisnya.

Dia menambahkan, masalah tersebut akan meningkatkan risiko terhadap kondisi ekonomi China dan global selama musim dingin mendatang, hingga mendorong harga energi lebih tinggi.

Krisis energi juga menimpa India. Pasalnya pemerintah pusat India telah mendapatkan peringatan akan adanya potensi kekurangan batu bara termasuk di Ibu Kota India, New Delhi. Hal itu didorong oleh meningkatnya permintaan global namun tidak dibarengi dengan produksi yang cukup.

Stok batu bara di sebagian besar pembangkit listrik India telah turun ke tingkat yang sangat rendah. Central Electricity Authority (CEA) mencatat ada sebanyak 61 dari 135 pembangkit listrik tenaga batu bara di India memiliki pasokan batubara hanya dua hari, atau kurang. Stok batubara di 16 pembangkit listrik diantaranya telah turun ke nol.

Total stok bahan bakar di pembangkit listrik tenaga batu bara sekitar 7,2 juta metrik ton, diperkirakan cukup untuk empat hari, menurut data Kementerian Batubara. Badan tersebut menambahkan bahwa raksasa pertambangan milik pemerintah, Coal India memiliki stok lebih dari 40 juta metrik ton.

Uni Eropa dilanda krisis energi karena lonjakan harga gas dan listrik. Lonjakan harga itu didorong langkanya stok energi gas dan listrik menjelang musim dingin di Eropa. Jutaan orang UE pun diprediksi tidak mampu membuat rumah mereka hangat saat musim dingin tiba nantinya.

Mengutip CNN penelitian terbaru yang dipimpin oleh profesor di Universitas Manchester Stefan Bouzarovski dengan ketua jaringan penelitian kemiskinan energi Engager, menemukan bahwa saat ini 80 juta rumah tangga di Eropa berupaya menjaga rumah mereka cukup hangat sebelum pandemi.

Artinya, sekarang dengan adanya pandemi dan kenaikan harga membuat lebih banyak rumah tangga terancam terputus jaringan listrik dan gas karena tidak dapat membayar tagihan.

Mereka yang tak mampu bayar tagihan, karena turunnya pendapatan sedangkan tagihan meningkat selama pandemi. Pekerja di sektor ritel, perhotelan, dan penerbangan sangat terpukul, bahkan banyak yang kehilangan pekerjaan.

Guna mengatasi permasalahan ini, para ahli dan juru kampanye berpendapat kalau Uni Eropa harus membuat undang-undang larangan pemasok memutuskan rumah tangga dari sumber energi mereka dapat menjadi solusi jangka pendek.

Tetapi mereka memperingatkan bahwa hanya mengurangi ketergantungan pada gas dan memperkenalkan lebih banyak energi terbarukan ke dalam bauran energi dapat menjinakkan lonjakan harga dalam jangka panjang.

“Kita harus melihat akses ke energi sebagai hak asasi manusia dengan cara yang sama seperti kita melihat akses ke air sebagai hak asasi manusia,” kata Martha Myers, juru kampanye keadilan iklim dan energi di Friends of the Earth Europe, yang merupakan bagian dari Right ke Koalisi Energi.(ega/net)

Tags: , , ,