Diduga Lakukan Ujaran Kebencian, Budayawan Butet Dilaporkan Ke Polda DIY

Butet Kartaredjasa. (Foto: Istimewa)

Yogyakarta, Pelitabaru.com

Seniman sekaligus budayawan, Butet Kartaredjasa dilaporkan kelompok relawan Pro Jokowi (Projo) ke Polda DIY, Selasa (30/1/2024). Butet diduga melontarkan ujaran kebencian saat membacakan sebuah pantun di acara kampanye akbar PDIP bersama Ganjar Pranowo di Alun-alun Wates, Kulon Progo, Minggu (28/1/2024).

Pelapor Aris Widihartarto, selaku perwakilan Relawan Projo DIY mengatakan, dasar ujaran kebencian yang disampaikan Butet yakni ketika kakak dari mendiam Djaduk Ferianto ini diduga menganalogikan Presiden Jokowi seperti binatang.

“Bagian yang mengatakan Pak Jokowi sebagai binatang itu,” kata Aris di Mapolda DIY.

Karena itu, Aris menyampaikan dari video yang beredar Butet diduga melakukan upaya penghinaan terhadap Presiden Jokowi. Salah satu pasal yang disangkakan terhadap Butet yakni 310 KUHP.

“Kalau dari konsultasi dengan bapak-bapak Polda tadi kemungkinan kami akan jerat dengan Pasal 310 tentang ujaran kebencian,” ungkap Aris.

Sementara itu, Butet Kartaradjasa saat ditemui awak media secara umum menghormati upaya hukum yang dilakukan para relawan Projo tersebut.

“Boleh boleh saja. Tapi kalau saya menanggapi kan gak tahu apa yang dilaporkan. Saya kan hanya menyatakan pemikiran saya. Bagian dari kebebasan berekspesi yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945,” kata Butet kala ditemui awak media, Selasa siang.

Butet berpendapat sebagai seniman, dirinya boleh secara bebas mengartikulasikan pikiran melalui media seni.

“Saya seorang penulis bisa berekspresi entah itu lewat cerpen, puisi, pantun atau bisa juga di seni pertunjukan karena saya seorang aktor. Saya juga pelukis saya bisa mengekspresikan diri secara bebas di kanvas atau kertas. Itu bagian sewajarnya,” jelasnya.

Saat disinggung dasar pelaporan karena menganalogikan Presiden Jokowi seperti binatang, Butet membantah hal itu dan memiliki tafsir berbeda dengan pelapor.

“Kata-kata binatang yang mana? Wedhus? (Kambing) Lah, nek ngintil (kalau sukanya ngikut) itu siapa? Kan saya hanya bertanya kepada khalayak. Yang ngintil siapa? Wedhus, berarti yang tukang ngintil kan wedhus. Tafsir saja. Apa saya nyebut nama Jokowi? Saya bilang ngintil kok,” jelasnya.

Baca Juga :  Jadi Tersangka Korupsi, Bos Helikopter Melawan

Butet menegaskan pantun yang dibacakan saat kampanye akbar PDIP di Kulon Progo adalah sebuah kritikan terhadap Presiden Jokowi dalam bentuk pantun.

Ia mengakui pantun yang dibaca saat kampanye akbar tersebut sengaja disiapkan sebagai bahan orasi. Namun untuk pernyataan pengantar pantun yang menyinggung Presiden Jokowi seperti halnya binatang, hal itu diakuinya muncul secara spontan.

“Kalau pantun itu jelas disiapkan. Narasi sebelum membaca itu jelas spontan, kan mengantar pembacaan pantun,” ujarnya.

Butet menuturkan alasan mengkritisi Presiden Jokowi bukan semata-mata untuk menjilat kelompok tertentu yang anti Jokowi. Melainkan, kritiknya diungkapkan atas dasar rasa sayangnya kepada Presiden Jokowi.

“Diingatkan secara sopan, secara alus nggak mau dengerin, dialus nggak isorodo kasar (agak kasar) justru karena saya menyayangi Jokowi maka saya kritik. Saya bukan jenis penjilat. Ketika dia (Presiden) semula lurus lalu bengkok, maka wajib orang yang mencintai ini mengingatkan,” terang Butet Kartaredjasa.

Ia juga mengaku sudah putus asa untuk mengingatkan Presiden Jokowi. Sebab itu, pentolan Teater Gandrik yang satu ini melontarkan kritik pedas melalui pantun dikampanye PDIP bebrapa hari lalu.

“Iya, putus asa saya sekarang. Sudah nggak ada harapan. Levelnya sudah melukai demokrasi. Saya termasuk aktivitis 1998 berjuang bersama kawan lain untuk membangun demokrasi Indonesia. Berhasil membangun sampai sekarang punya MK, Ombudsman, bisa mengontrol kepolisian, itu perjuangan teman-teman aktivis 98. Terus dikhianati, diakal-akalin siapa yang gak marah?” tegas Butet.

Menurutnya kehidupan demokrasi yang sudah terbangun saat ini terganggu dengan iklim politik yang tidak sehat seperti sekarang ini. (dhy/*)

Tags: , , , ,