Jakarta, Pelitabaru.com
Usulan 12 nama calon anggota Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc HAM pada Mahkamah Agung Tahun 2024, ditolak DPR RI. Penolakan ini tak lepas dari temuan dua calon hakim agung karier yang tak sesuai dengan persyaratan pengalaman paling sedikit 20 tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 tahun menjadi hakim tinggi.
“Sidang dewan yang kami hormati, sekarang kami akan menanyakan sidang dewan yang terhormat, apakah laporan Komisi III yang tidak menyetujui seluruh calon hakim agung dan hakim Ad Hoc HAM pada Mahkamah Agung tahun 2024 tersebut dapat disetujui untuk ditetapkan?” ungkap Ketua DPR RI Puan Maharani ketika memimpin Rapat Paripurna DPR RI Ke-6 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024 – 2025, Selasa (10/9/2024).
Menyikapi hal ini, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Pangeran Khairul Saleh,menyebut, mengacu pada persyaratan tersebut tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yaitu berpengalaman paling sedikit 20 tahun.
Selain itu, dua orang yang merupakan calon hakim agung pada kamar tata usaha negara khusus pajak, yakni Hari Sih Advianto yang baru menjadi hakim sejak 2016, dan Tri Hidayat Wahyudi sejak 2010.
“Menyikapi hal tersebut, selanjutnya Komisi III melakukan rapat internal pada 28 Agustus 2024, dan berdasarkan pendapat serta pandangan sembilan fraksi di Komisi III DPR RI menyepakati untuk tidak menyetujui seluruh calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM pada Mahkamah Agung tahun 2024 yang diajukan Komisi Yudisial,” jelas Pangeran.
Dalam rapat pada 28 Agustus lalu, enam fraksi yang hadir, yakni Demokrat, Gerindra, PAN, PKS, PKB, dan Golkar, sepakat untuk menunda uji kelayakan hingga persoalan ini diklarifikasi lebih lanjut oleh Komisi Yudisial (KY).
Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Benny K. Harman, bahkan mengusulkan agar masalah ini dikembalikan kepada KY untuk diklarifikasi kembali.
“Saya setuju dengan Pak Wakil Ketua, pansel tidak boleh mengesampingkan undang-undang dengan alasan apa pun, termasuk diskresi,” tegas Benny.
Senada dengan Benny, anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Muhammad Nasir Jamil, menyatakan bahwa Komisi Yudisial memiliki kewenangan sekaligus tanggung jawab untuk menjaga kehormatan dan martabat hakim. Menurutnya, jika proses seleksi cacat, maka KY, disengaja atau tidak, telah merubuhkan upaya penegakan integritas tersebut.
Habiburokhman juga menekankan pentingnya ketelitian dalam memilih calon hakim agung. Ia menyoroti bahwa masyarakat saat ini sangat kritis terhadap kinerja lembaga peradilan, terutama terkait kasus-kasus yang mencederai rasa keadilan, seperti kasus pembebasan terdakwa dalam kasus meninggalnya Dini Sera di Surabaya.
“Memilih hakim agung harus benar-benar cermat, seperti memilih ‘wakil Tuhan’ di muka bumi. Jangan sampai ada proses yang salah sedikit pun,” ujarnya.
Penundaan ini menunjukkan komitmen Komisi III DPR RI untuk memastikan bahwa calon hakim agung yang dipilih benar-benar memenuhi syarat dan memiliki integritas tinggi. Keputusan ini diharapkan dapat menjaga kredibilitas lembaga peradilan dan kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia.
Dengan ditundanya uji kelayakan ini, Komisi III akan menunggu klarifikasi dari Komisi Yudisial sebelum melanjutkan proses seleksi.
“Kami kira tidak ada masalah jika kita kembalikan kepada Komisi Yudisial, agar mereka menyodorkan calon hakim yang tidak menabrak aturan undang-undang,” kata anggota Komisi III, Supriansah, dalam penutup diskusinya.
Pasal 7 UU MA memang mengatur dengan ketat syarat-syarat untuk menjadi hakim agung, termasuk usia minimal 45 tahun, pengalaman profesi hukum paling sedikit 20 tahun, serta tidak pernah dijatuhi pidana atau sanksi disiplin. Persyaratan ini dirancang untuk memastikan bahwa hakim agung yang terpilih adalah sosok yang benar-benar berpengalaman dan berintegritas tinggi. (din/*)
Tags: DPR RI, Hakim Agung, Puan Maharani