Awal Tahun 2024 Pertalite Mulai Menghilang, Ini Penyebabnya..

Direktur Utama Pertamina Nicke. Widyawati. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Pelitabaru.com

Bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite bakal menghilang pada 2024 mendatang. Sinyal itu diungkap Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII, Rabu (30/8/2023).

Menurutnya, lenyapnya Pertalite dan Pertamax merupakan bagian dari Program Langit Biru tahap dua. Sebagai gantinya, Pertamina akan menjual produk baru tahun depan, Pertamax Green 92.

“Dua tahun lalu kita mulai program langit biru. Program yang pertama kita menaikkan BBM bersubsidi dari RON 88 menjadi RON 90. Nah itu kita melanjutkan sesuai dengan rencana program langit biru tahap dua, di mana BBM subsidi kita naikkan dari RON 90 jadi RON 92,” ujar Nicke.

Karena itu, Nicke meminta dukungan kepada DPR sebagai pengganti Pertalite, Pertamina akan mengeluarkan produk baru Pertamax Green 92. Jenis BBM itu merupakan campuran Pertalite dengan bioetanol 7 persen.

“Oleh karena itu 2024 mohon dukungannya juga kami akan mengeluarkan lagi yang kita sebut Pertamax Green 92, sebetulnya ini Pertalite kita campur dengan ethanol, naik oktannya dari 90 ke 92,” kata dia.

Nicke menegaskan Pertamina hanya menjual BBM jenis dengan RON minimal 92 dengan campuran etanol sebagai bagian dari Program Langit Biru. Sehingga tahun depan hanya ada tiga produk, yang pertama adalah Pertamax Green 92 dengan mencampur RON 90 dengan 7 persen etanol, kedua Pertamax Green 95 mencampur Pertamax dengan 8% etanol, ketiga adalah Pertamax Turbo.

“Jadi ada dua green gasoline, green energy, low carbon yang akan menjadi produk Pertamina. Karena aturan KLHK menyatakan octan number yang boleh dijual di Indonesia minimum 91. Jadi ini sudah sangat pas, satu dari sisi aspek lingkungan bisa menurunkan karbon emisi, kedua mandatory bioetanol, bioenergy bisa kita penuhi, dan yang ketiga kita menurunkan import gasoline,” ujar Nicke.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan Pertamax untuk dijadikan BBM bersubsidi. Bahkan menurut Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, rencana ini juga turut dibahas dalam rapat terbatas mengenai polisi udara di Istana Negara, Senin (28/8/2023).

“Nanti ditunggu ya (nasib Pertamax jadi BBM subsidi), karena ada sidang kabinet hari ini,” ujar Dadan singkat dikutip dari CNNndonesia.

Dadan juga sempat menyampaikan rencana untuk membatasi penyaluran BBM jenis Pertalite (RON 90). Di sisi lain, pihak instansi juga berencana memberikan subsidi kepada BBM jenis Pertamax.

Dadan mengatakan, rencana pembatasan BBM Pertalite saat ini masih di tingkat pembahasan internal. Pasalnya, keputusan itu perlu mempertimbangkan sisi teknis maupun ekonomi.

“Kita lagi bahas, lagi lihat secara teknis maupun secara regulasi dan secara keekonomian, karena kan berbeda. Tapi kami masih bahas di internal,” ujar Dadan di Bali, beberapa waktu lalu.

Pembahasan internal itu pun termasuk rencana mengalokasikan anggaran BBM subsidi untuk Pertamax.

“Itu termasuk yang sedang dibahas,” imbuh Dadan. Dadan menyebut, pembahasan ini digelar lantaran bahan bakar dengan tingkat oktan rendah semisal Pertalite punya peluang lebih besar untuk menyumbang polusi udara.

Di sisi lain, semakin tinggi nilai oktan atau research octane number (RON) yang terkandung di dalamnya, maka pembuangan emisinya akan lebih sedikit.

“Kan secara teknis makin tinggi angka oktan, pembakarannya makin bagus. Kalau pembakaran makin bagus, emisinya akan semakin sedikit. Jadi kita lagi lihat juga, apakah bisa dilakukan upaya untuk peningkatan angka oktan untuk bahan bakar,” tuturnya.

Baca Juga :  Tragedi Truk Maut, PT Pertamina Siap Tanggungjawab

Namun berbeda dengan Dadan, Menteri ESDM Arifin Tasrif justru membantah pemerintah bakal mensubsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) pertamax demi mengurangi polusi di Jakarta yang memburuk akhir-akhir ini.

Arifin bahkan menyebut tak ada pembahasan mengenai pemberian subsidi pertamax. Ia menyatakan isu tersebut tidak benar.

“Tidak ada wacana itu (subsidi pertamax), yang karang-karang siapa?” ujarnya usai di Komplek Istana Negara, Senin (28/8/2023).

Arifin menekankan sampai saat ini pertamax adalah jenis BBM yang tidak disubsidi oleh pemerintah. Itu beda halnya dengan pertalite dan solar.

“Kan nggak ada subsidi pertamax. Kan udah dibilangin. Pertamax emang disubsidi ? tidak kan,” jelasnya.

Namun, ia mengakui memang ada pembahasan mengenai BBM ramah lingkungan yang perlu didorong penggunaannya di saat seperti ini. Namun, pembahasan tidak pernah soal subsidi pertamax.

“Ini masalah BBM ini banyak contohnya BBM yang memang tingkat polutannya bersih segala macem. kita masih memang memakai BBM yang memang (hasilkan polusi). Tapi intinya gimana ini bisa mengurangi polusi dari transportasi. Nggak ada pembahasan mengenai subsidi pertamax,” pungkasnya.

Menyikapi hal ini, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ Achmad Nur Hidayat menilai bensin beroktan tinggi seperti Pertamax memang memiliki keunggulan dalam pengurangan emisi, memberikan dampak positif bagi kualitas udara. Namun, pemberian subsidi ini melibatkan penimbangan aspek-aspek teknis, regulasi, dan ekonomi yang cermat.

“Pertimbangan penting adalah menghindari gangguan terhadap pasokan dan mobilitas masyarakat. Pembatasan penyaluran BBM beroktan rendah, seperti Pertalite, dapat menghambat operasional sektor-sektor vital, seperti industri kecil, perikanan, pertanian, transportasi, dan pelayanan umum,” jelasnya melalui keterangan tertulisnya, Senin (28/8/2023).

Lebih ironisnya, lanjut Achmad, rencana pemindahan subsidi ke Pertamax dapat menyebabkan ketidaksetaraan, di mana kelompok masyarakat yang memerlukan BBM beroktan rendah malah mendapatkan beban tambahan.

“Mengacu pada anggaran kompensasi energi yang mencapai ratusan triliun rupiah, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah alokasi ini sudah efektif dan tepat sasaran? Mengalokasikan sejumlah besar anggaran bagi Pertamax—bensin yang sering diasosiasikan dengan kendaraan mewah—bisa jadi memberi kesan bahwa pemerintah lebih mengutamakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu,” paparnya.

CEO Narasi Institute ini lantas menyarankan pemerintah untuk tidak melupakan masyarakat berpenghasilan rendah yang bergantung pada BBM beroktan rendah. Kebijakan harus inklusif dan memastikan tidak ada yang terpinggirkan dalam upaya memperbaiki kualitas udara.

Apabila pemerintah bersungguh-sungguh ingin menjadikan udara bersih sebagai prioritas, maka harus ada transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran. Fokus harus ditempatkan pada upaya peningkatan efisiensi dan pengawasan ketat agar tidak terjadi pemborosan.

“Membahas wacana subsidi Pertamax dan anggaran kompensasi energi bukanlah hal yang sederhana. Namun, langkah pertama yang paling kritis adalah memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil mendukung seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya beberapa kelompok tertentu,” ungkapnya.

Menurutnya, pembahasan mengenai subsidi Pertamax dan anggaran kompensasi energi yang terkait menghadirkan permasalahan penting yang perlu diperhatikan, terutama dalam konteks dampaknya bagi masyarakat.

“Transparansi, akuntabilitas, dan inklusivitas—ketiga prinsip ini harus menjadi landasan dalam pengambilan keputusan seputar energi di Indonesia,” tukasnya. (fuz*)

Tags: , , , ,